Gerakan Inklusi bagi Orang Dengan Disabilitas Psikososial dari Kelurahan hingga Kotamadya
Tanggal 19 November 2018, Pemerintah Kota Yogyakarta mengesahkan Peraturan Walikota tentang Rencana Aksi Daerah Upaya Kesehatan Jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif untuk periode tahun 2018 – 2022. Perwal ini merupakan bukti dukungan dari pemerintah kota Yogyakarta untuk pelindungan bagi orang dengan disabilitas mental terutama Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP). Pengesahan ini merupakan hasil dari proses setahun Program PEDULI melakukan advokasi kebijakan di tingkat kota, serta pendampingan di tingkat kelurahan bagi keluarga dan ODDP. Berdasarkan data Riskesdas 2018, bahwa 10 per 1000 penduduk di DIY mengalami gangguan jiwa berat. Angka ini lebih tinggi dari angka nasional sebesar 7 per 1000 penduduk. Sementara untuk wilayah kota Yogyakarta kasus kesehatan jiwa yang ditangani di fasilitas kesehatan Kota Yogyakarta pada tahun 2017 sebanyak 9.599 dengan jenis penyakit yang paling banyak adalah kasus schizophrenia. Data ini menjadi dasar bagi Program PEDULI untuk menyasar isu kesehatan jiwa di wilayah Kota Yogyakarta, melalui kemitraan dengan pemerintah Kota Yogyakarta dan Pusat Kebijakan dan Management Kesehatan (PKMK) Universitas Gadjah Mada.
Hingga Desember 2018 telah terjadi dampak perubahan baik di level masyarakat dan di level pemerintah. Setidaknya 40 kader di 8 kelurahan telah memiliki ketrampilan dalam pendampingan ODDP terutama dalam mendampingi kedisiplinan minum obat dan personal hygiene. Ketrampilan ini diperoleh melalui pelatihan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) bersama dengan 4 puskesmas yang melayani 8 kelurahan. Ketrampilan yang diperoleh kader digunakan untuk mendampingi 59 ODDP di 8 Kelurahan. Dampaknya ODDP menjadi rutin untuk pengobatan yang didukung oleh keluarganya. Hal ini juga berdampak pada menurunnya kekambuhan ODDP. Salah satu ODDP di kelurahan Bausasran setelah mendapatkan intervensi dari Peduli menjadi rutin minum obat dan tidak pernah kambuh lagi. Kader melakukan kunjungan rumah untuk mengingatkan minum obat. Hal ini menjadi kesepakatan informal di kelompok kader untuk membuat grup pantau kepada ODDP, yang jarak rumahnya 5 meter kiri kanan depan belakang dari rumah kader. Termasuk kepada warga yang mengalami masalah kejiwaan (Orang Dengan Masalah Kejiwaan - ODMK) untuk dianjurkan berkonsultasi kepada psikolog di Puskesmas. Peristiwa yang ditangani oleh grup pantau ini adalah pendampingan salah satu ODDP yang dinyatakan Puskesmas sudah lepas obat dan kontrol dari tahun 2013. ODDP tersebut terkena razia Satpol PP Provinsi karena mengamen. Ini dilakukan karena di DIY terdapat Peraturan Daerah mengeni penindakan gepeng. Kemudian kader mendampingi ODDP untuk menjelaskan tentang kondisi warganya kepada Satpol PP dan Dinas Sosial. Selanjutnya ODDP dilepaskan dan dipastikan mendapat penanganan obat dan psikiater. Meskipun telah ada kesepakatan namun kesepakatan informal ini masih harus diperkuat dan dikomentasikan supaya dapat menjadi rujukan dalam penanganan berbasis masyarakat. Capaian lainnya adalah telah terbentuk 8 kelompok swa bantu di 8 kelurahan. Kelompok swa bantu adalah kelompok yang beranggotakan ODDP dan keluarga untuk berbagi informasi, serta peningkatan kapasitas. Kelompok swa bantu tersebut telah memiliki pengurus serta program kerja.
Manfaat lainnya yang dirasakan masyarakat adalah adanya sosialisasi mengenai kesehatan jiwa yang dilakukan oleh kelompok SHG kepada warga RT. Hingga Agustus 2018 sosialisasi telah menyasar setidaknya kepada 400 warga. Di level ODPP peningkatan kapasitas dalam livelihood dilakukan melalui pelatihan akupresur, pengolahan jamu herbal, barista, dan batik shibori. Hingga saat ini telah ada 20 ODDP yang dilatih pelatihan kemandirian ekonomi. Dan peningkatan terhadap akses layanan kesehatan dilakukan melalui Terapi Aktivitas Kelompok di 4 puskesmas, dengan melatih para tenaga puskesmas. Hingga saat ini telah ada 8 tenaga puskesmas yang telah memfasilitasi TAK kepada. Dan pada bulan Agustus 2018, telah ada komitment dari pemerintah kota dalam mengembangkan rehabilitasi berbasis masyarakat melalui program Kelurahan Siaga Sehat Jiwa (KSSJ). Untuk pengembangannya akan disusun dokument Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis (Juklak Juknis) dalam pelaksanaan KSSJ. Serta inisiasi pembentukan Tim Penanggulangan Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) di tingkat kabupaten dan kecamatan.
Kemajuan yang terjadi dalam pembangunan inklusi di kota Yogyakarta dipengaruhi oleh beberapa hal. (1) Program PEDULI membuat perjanjian kerjasama dengan pemerintah kota terkait dengan penanganan kesehatan jiwa. Hal ini disambut baik oleh pemerintah kota mengingat angka kesehatan jiwa di DIY termasuk tinggi (hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 bahwa DIY di urutan kedua setelah Bali), (2) Terdapat pembagian peran dan sharing sumberdaya antara Program PEDULI dan Dinas Kesehatan kaitannya dengan pembagian wilayah dampingan, pelatihan yang akan diberikan, pembentukan kelompok, serta pembuatan kebijakan. (3) Puskesmas sebagai stakeholder di tingkat kecamatan disasar dalam peningkatan kapasitas. (4) Memberikan ruang kepada Dinas Kesehatan untuk mengkoordinir proses penyusunan Rencana Aksi Daerah dalam penanganan kesehatan jiwa. (5) Melibatkan akademisi untuk menyusun regulasi, karena profil akademisi lebih dipercaya OPD dalam hal penyusunan regulasi. (6) Lobby kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Balai Latihan Kerja untuk memberikan kuota kepada difabel psikososial serta memberikan jaminan keamanan. Jaminan keamanan diberikan dengan menghadirkan pendamping (keluarga atau kader) selama pelatihan yang mengerti kebutuhan khusus ODDP. Pembiayaan bagi pendamping dicover oleh Program PEDULI.
Selain hal diatas, faktor eksternal yang mempengaruhi adalah adanya penetapan Standard Pelayanan Minimum (SPM) di PP no 2 tahun 2018 sebagai turunan dari Undang-Undang Kesehatan Jiwa no 18 Tahun 2014 bahwa penanganan gangguan jiwa menjadi indikator capaian di daerah. Sebelum ada SPM, isu gangguan jiwa belum menjadi prioritas, dan kini ketika kebijakan SPM tersebut menjadi pendorong di masing-masing daerah untuk menangani isu gangguan jiwa secara serius. Tantangan yang dihadapi selama proses Program adalah posisi Dinas Kesehatan yang tidak dinilai kuat untuk mengkoordinir OPD lainnya dalam menjalankan RAD. Hal ini yang perlu diantisipasi supaya RAD tidak hanya sebatas dokument saja tetapi benar-benar diimplementasikan. Meskipun terdapat peraturan walikota yang memayunginya, namun mekanisme monitoring dan evaluasi belum secara jelas diatur di dalam peraturan walikota.
Penulis: Ranie A. Hapsari