Sriyanto yang Pantang Menyerah

Senin, 25 Juni 2018

Namanya Sriyanto, difabel Cerebral Palsy (CP), tinggal di Polokarto, Sukoharjo, Jawa Tengah. Jika berjalan, seluruh tubuhnya bergetar. Kakinya tidak menapak tanah dengan kokoh, seakan hendak terjatuh. Akibatnya ia dianggap tidak memiliki kemampuan sebagaimana yang lain. “Nggih namung ngoten niku. Mboten saget nopo-nopo” (Ya hanya seperti itu, tidak bisa berbuat apa-apa), demikian komentar beberapa orang termasuk keluarga tentang Sriyanto.

Berasal dari keluarga sederhana dengan lima saudara kandung, Sriyanto tidak memiliki kemewahan untuk menikmati beragam layanan, bahkan yang paling dasar sekalipun. Ia tidak pernah ditanya pendapatnya. Tak pernah ditanya cita-citanya. Pun tak pernah mengenyam pendidikan seperti anak-anak lain di kampungnya. Padahal seperti orang lain, Sriyanto juga memiliki mimpi. Ia memimpikan punya usaha. Ia ingin bisa berdagang, memiliki penghasilan dan menikah. Kalimat itu disampaikan dengan terbata namun cukup jelas dipahami.

Adalah Sutrisno, pendamping Sehati dari Program Peduli yang ‘memahami’ mimpi itu. Ia mengupayakan akses untuk mendapatkan KTP bagi Sriyanto dan penyandang disabilitas lainnya melalui pendataan dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Sriyanto tidak tinggal diam. Diawali dengan mengumpulkan kardus bekas untuk kemudian dijual pada pengepul, Sriyanto bertekad merintis mimpinya. Tak puas di situ, ia merambah usaha lain: menjual pulsa. Tak  pernah terbayangkan sebelumnya, Sriyanto yang kerap dianggap “terbelakang” karena memiliki hambatan mobilitas dan wicara ini mampu melakukan kerja-kerja seperti orang lain. Rupiah demi rupiah ia kumpulkan dari usahanya itu. Kini ia bukan beban dari siapa-siapa. Ia adalah Sriyanto yang berdaya.

Suatu hari, dalam suatu kunjungan ke balai Desa Polokarto, kami bertemu dengannya. Ketika ditanya siapa namanya, ia bergegas merogoh saku celana, mengambil dompet dan menunjukkan KTP seolah itulah hartanya yang paling berharga. Tak pernah kami menyaksikan tawa selebar ini hanya untuk sebuah KTP. Ia pandangi kami berganti-ganti dengan kartu yang tercetak foto dirinya itu. Matanya berpijar-pijar penuh semangat. Bagi Sriyanto, KTP bukan hanya sebagai “alat pengenal” namun juga alat komunikasi ketika ia gagal menyampaikan maksudnya dengan tepat. KTP membantunya menjelaskan pada orang baru yang menanyakan namanya, umurnya atau alamat rumahnya.

Hal-hal kecil yang kita pandang sepele, terkadang adalah hal besar bagi orang lain. Sebaliknya, pandangan mengecilkan, menganggap tidak penting atau tidak mampu kepada orang lain, adalah lubang yang kita gali untuk kejatuhan orang lain. Padahal dalam diri manusia selalu ada kelebihan dan kekurangan. Dua kutup yang saling melengkapi. Semua bisa berdaya dengan memandangnya setara, sekaligus memberinya kepercayaan dan dukungan. Sriyanto sudah membuktikan. Ia bisa. Kita bisa.