Mengenali Perbedaan antara ODDP dan ODGJ
Di dalam rumahnya yang sederhana, seorang pria sedang fokus menggoreskan kuas dengan cat air di atas kanvas. Ia adalah Mas Haryata, seorang pria paruh baya yang hidup dengan disabilitas psikososial. Sehari-harinya ia beraktivitas membuat keranjang dari anyaman bambu. Lalu dijual di pasar. Ia suka melukis karena katanya dengan melukis atau menggambar, mampu menghilangkan kejenuhan dari melakukan hal yang itu-itu saja.
Mungkin Anda bertanya-tanya, apa sih maksudnya ia hidup dengan disabilitas psikososial?
Anda mungkin lebih familiar dengan istilah Orang Dengan Gangguan Jiwa atau disingkat ODGJ. Istilah tersebut memang sudah lebih dulu dipopulerkan untuk mengganti sebutan “Orang Gila” yang kerap dipakai di masyarakat.
Lalu, apa bedanya istilah Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP) dengan istilah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)? Bukankah, keduanya sama-sama merujuk kepada “Orang Gila”?
Eitts…tunggu dulu! Kita sebaiknya bersepakat untuk tidak lagi menggunakan sebutan “Orang Gila” kepada mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Menyebut mereka orang gila sama sekali tidak menyelesaikan persoalan. Yang ada hanya olok-olok yang mempertebal stigma buruk kepada mereka. Prof Budi Anna Keliat, seorang ahli keperawatan jiwa, pernah berkata “orang itu tidak serta-merta lahir dengan gangguan kejiwaan. Kita dan masyarakatlah yang punya andil besar menyebabkan mereka mengalami gangguan kejiwaan”. Artinya, kondisi gangguan kejiwaan itu juga jadi tanggung jawab masyarakat untuk menanganinya.
Kembali lagi ke istilah ODDP dan ODGJ. Istilah ODDP lebih banyak dipopulerkan oleh gerakan advokasi disabilitas baik di Indonesia maupun di lingkup internasional. Sementara istilah ODGJ banyak dipakai dan dipopulerkan oleh kalangan medis dan kedokteran. Keduanya mirip tetapi tidak sama. Mari, kita bedah satu per satu, apa yang membedakan keduanya dan mengapa penting untuk melihat keduanya menggunakan kacamata inklusivitas, tidak hanya sekadar diagnosa medis.
Apa itu Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP)?
ODDP adalah sebutan untuk seseorang yang mengalami disabilitas akibat kondisi mental tertentu yang memengaruhi kemampuannya menjalani kehidupan sehari-hari. Istilah ODDP ini merujuk pada Undang Undang No. 8 tahun 2016 yang menyebut bahwa penyandang disabilitas psikososial merupakan bagian dari penyandang disabilitas mental. Istilah ODDP tidak hanya merujuk pada hasil diagnosis medis saja, tetapi juga mencakup hambatan sosial yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini mengakui bahwa lingkungan sosial dapat menciptakan tantangan dan hambatan bagi kesehatan mental seseorang seperti skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, gangguan kepribadian dan lain-lain.
Penanganan terhadap ODDP tidak hanya berfokus pada aspek klinis saja, tetapi diperlukan penanganan yang bersifat menyeluruh dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Dukungan dari komunitas, keluarga dan bahkan lingkungan kerjanya menjadi faktor penting dalam penanganan ODDP. Lebih jauh, Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) menekankan pentingnya pendekatan berbasis hak asasi manusia dan inklusi sosial dalam penanganan ODDP. Salah satu prinsip utama dalam memberikan layanan atau penanganan terhadap ODDP adalah perlunya persetujuan atau informed consent. Jika ODDP berada dalam kondisi atau situasi yang tidak mampu memberikan persetujuan, maka dapat diwakilkan oleh pihak yang ia percaya.
Apa Itu Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)?
ODGJ adalah istilah yang biasanya digunakan untuk merujuk pada seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental atau gangguan jiwa dalam dunia medis atau kedokteran. Dalam beberapa kasus, ODGJ merujuk pada orang yang berada dalam fase kondisi mental yang akut dan memerlukan intervensi medis. Biasanya ia ditempatkan di dalam bangsal jiwa atau Rumah Sakit Jiwa. Ini adalah fase di mana ia memerlukan penanganan klinis yang intensif dan pengawasan medis yang ketat, terutama jika terjadi gejala-gejala seperti halusinasi, delusi, atau tindakan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Jika merujuk pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, ODGJ didefinisikan sebagai orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia. Penjelasan tersebut memiliki konsekuensi yang berdampak pada munculnya pandangan umum di masyarakat bahwa orang dengan gangguan jiwa baru bisa berpartisipasi aktif di masyarakat ketika ia sudah “sembuh”. Implikasinya, masyarakat cenderung tidak memberikan ruang apalagi penerimaan kepada mereka. Ini menimbulkan stigma buruk yang kuat di masyarakat yang berdampak pada perlakuan buruk dan diskriminatif kepada mereka.
Membangun Kesadaran yang Inklusif
ODDP tidak selalu dalam kondisi akut seperti ODGJ. Mereka dapat hidup produktif dengan dukungan yang tepat, baik dari layanan medis, keluarga, komunitas, maupun dari kebijakan inklusif yang mendukung kemandirian mereka.
Masyarakat juga perlu diedukasi tentang pentingnya membangun lingkungan yang bebas stigma. Seringkali, stigma terkait kesehatan mental membuat orang dengan disabilitas psikososial merasa terasing, diabaikan, atau bahkan ditolak dari berbagai kesempatan. Padahal, inklusi yang tepat dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi mereka dapat membantu mereka hidup lebih baik dan mandiri.
Di Indonesia, advokasi terkait hak-hak ODDP masih terus diperjuangkan. Organisasi-organisasi yang bekerja dalam isu disabilitas dan kesehatan mental berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengubah cara pandang terhadap penanganan ODDP dan ODGJ, memfokuskan pada pendekatan yang tidak hanya berbasis medis, tetapi juga berbasis hak asasi manusia.
Dukungan yang Menyeluruh bagi ODDP
ODDP maupun ODGJ memerlukan dukungan yang menyeluruh, namun pendekatannya harus disesuaikan dengan kondisi mereka. ODDP memerlukan dukungan yang memungkinkan mereka untuk menjalani kehidupan yang mandiri, sementara ODGJ membutuhkan intervensi medis dan klinis selama masa krisis mereka. Setelah fase krisis berlalu, semua orang dengan gangguan kesehatan jiwa bisa kembali menjalani kehidupan seperti biasa dengan adanya dukungan yang tepat.
Pada akhirnya, kita perlu ingat bahwa semua orang, termasuk ODDP dan ODGJ, memiliki hak yang sama untuk hidup bermartabat dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Kita dapat membantu mereka mencapai potensi terbaiknya dengan cara memahami perbedaan antara keduanya, memberi dukungan yang tepat, serta ikut menciptakan lingkungan yang inklusif.
Sebagai masyarakat, mari kita ubah pandangan kita terhadap kesehatan mental, dan bersama-sama untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif dan peduli kesehatan mental.